Ayah Nabi

Abdullah (Arab:عبد الله)
adalah nama Arab yang memiliki arti "hamba Ilah" atau "hamba (Allah)". Nama Abdullah dapat merujuk pada: Abdullah bin Syaibah, lebih dikenal sebagai Abdullah bin Abdul-Muththalib ayah kandung dari Nabi Muhammad.


Syaibah bin Hâsyim (Arab: شيبة بن هاشم
(lahir 497 – 578) lebih dikenal dengan nama Abdul Muththalib atau 'Abd al-Muththalib (artinya budak/hamba Muththalib) sejak ia dibesarkan oleh pamannya Muththalib. Suatu ketika Muththalib bepergian dengan hewan tunggangan sambil memboncengi Syaibah. Masyarakat yang melihatnya mengira yang diboncengi Muththalib adalah budaknya. Sejak itu Syaibah dipanggil dengan sebutan Abdul Muththalib.
Ia merupakan kakek dari Nabi Muhammad dan Ali. Ia sebagai pemimpin kaum Quraisy, sempat bertemu dan berbicara dengan Abrahah, seorang penguasa dari Yaman yang ingin menghancurkan Ka'bah.

Ibu Susu

Halimah As-Sa'diyah (Arab:حليمة السعدية)
adalah ibu susu dari Nabi Muhammad. Ia dan suaminya berasal dari suku Hawazin. Halimah As-Sa'diyah memiliki beberapa nama, yaitu Halimah binti Abdullah dan Halimah bint Abi Dhuayb.

Barkah binti Tsa’labah/ Aiman Al-Baraqa (Bahasa Arab لم يتم إيجاد أي عنوان مطابق) 
Ia seorang Ibu susuan Muhammad dan Salah seorang sahabat nabi. Nama lengkapnya adalah Barkah binti Tsa’labah bin ’Amr bin Hishn bin Malik bin Salamah bin ’Amr bin Nu’man berasal dari Habsyi (sekarang Ethiopia).

Ummu Aiman adalah seorang hamba sahaya yang diwariskan kepada Muhammad oleh ayahnya, Abdullah bin Abdul Muthalib. Ummu Aiman mengasuh Muhammad sampai usia dewasa. Dia dimerdekakan setelah Muhammad menikah dengan Khadijah binti Khuwailid, kemudian dinikahi oleh ’Ubaid bin Al-Harits dari suku Khazraj. Dari pernikahannya dengan ’Ubaid, lahirlah Aiman. Aiman ikut hijrah dan berjihad bersama Muhammad dan gugur sebagai syahid dalam Perang Hunain.
Muhammad sangat menghormati Ummu Aiman. Suatu ketika beliau mengunjunginya dan berkata, ”Wahai Ibu!” Beliau juga pernah berkata, ”Wanita ini adalah anggota keluargaku yang masih tersisa.” Pada kesempatan lain beliau juga pernah berkata, ”Ummu Aiman adalah ibuku setelah ibuku (wafat).”
Ummu Aiman mengasuh Muhammad kecil dengan penuh kelembutan. Setelah Muhammad diangkat menjadi rasul, beliau pernah berkata, ”Barang siapa yang ingin menikah dengan wanita ahli surga, maka hendaklah ia menikahi Ummu Aiman.” Mendengar sabda beliau, Zaid bin Haritsah segera menikahinya. Dari pernikahannya dengan Zaid, lahirlah Usamah bin Zaid, lelaki kesayangan Muhammad.
Ketika Allah memerintahkan kaum muslim untuk hijrah ke Madinah, Ummu Aiman termasuk angkatan pertama yang turut hijrah ke Madinah. Dia melakukan hijrah dengan berjalan kaki, tanpa bekal, dan dalam keadaan puasa walaupun cuaca saat itu sangat panas, sehingga ia mengalami kehausan yang sangat. Selanjutnya, Allah memberikan kemurahan kepadanya dengan menurunkan dari langit satu timba air dengan tali timba yang berwarna putih. Dia pun meminumnya sampai puas.
Dalam sebuah riwayat, Ummu Aiman berkata, “Sesudah minum air itu, aku tidak merasakan haus lagi. Meskipun aku berpuasa di tengah hari yang biasanya aku merasa haus, kini aku tidak merasakan haus setelah minum air itu. Sejak saat itu, jika aku berpuasa pada hari yang sangat panas, aku tidak pernah merasakan haus."
Muhammad memperlakukan Ummu Aiman layaknya ibu beliau sendiri. Suatu saat Ummu Aiman mendatangi beliau dan berkata, ”Wahai Rasulullah, bawalah aku.” Beliau berkata, ”Aku akan membawamu di atas anak unta.” Ia berkata lagi, ”Wahai Rasulullah, anak unta tidak sanggup menahan bebanku. Aku tidak mau.” Beliau berkata, ”Aku tidak mau membawamu, kecuali di atas anak unta." Rasulullah memang ingin mencandai Ummu Aiman, karena setiap unta itu pastilah anak unta yang lain. Begitulah Rasulullah, bahkan dalam bercanda pun, beliau tetap mengatakan sesuatu yang benar.
Ummu Aiman adalah wanita yang cedal (susah berbicara). Suatu ketika Ummu Aiman datang kepada Muhammad dan berkata, “Salaamun laa ’alaikum” (Semoga keselamatan tidak terlimpahkan kepadamu). Muhammad pun memaklumi ucapan salamnya itu, karena yang dia maksudkan sebenarnya adalah, ”Assalamu ’alaikum” (Semoga keselamatan tetap terlimpahkan kepadamu).
Di samping sifat-sifatnya yang terpuji, Ummu Aiman juga seorang wanita yang selalu ingin bergabung bersama pahlawan Islam dalam memerangi musuh-musuh Allah SWT untuk meninggikan kalimat-Nya, kendatipun usianya sudah tua. Dia ikut di medan perang Uhud. Di sana dia berusaha memanah sekuat kemampuannya, memberi minum pasukan yang kehausan, dan mengobati mereka yang terluka. Dia juga turut menyertai Muhammad dalam Perang Khaibar.
Setelah Muhammad wafat, Abu Bakar berkata kepada Umar, ”Marilah kita mengunjungi Ummu Aiman sebagaimana Muhammad juga pernah mengunjunginya.” Namun mereka berdua mendapati Ummu Aiman sedang menangis. Abu Bakar dan Umar bertanya, ”Apa yang membuatmu menangis? Bukankah tempat di sisi Allah lebih baik bagi Rasul-Nya?” Ummu Aiman menjawab, ”Aku menangis bukan karena tidak tahu bahwa tempat di sisi Allah adalah lebih baik bagi Muhammad. Aku menangis karena wahyu sudah terputus dari langit.” Mendengar jawaban itu Abu Bakar dan Umar pun ikut menangis bersamanya.
Ummu Aiman wafat pada masa khalifah Utsman bin Affan, bertepatan 20 hari setelah wafatnya Umar. Semoga Allah mencurahkan rahmat-nya kepada Ummu Aiman, wanita yang berhijrah dengan berjalan kaki dalam keadaan puasa, inang pengasuh Muhammad.

Aminah

Aminah Az- Zuriyah binti Wahab (Aminah binti Wahab)

Bahasa Arab: آمنة بنت وهب) adalah ibu yang melahirkan MuhammadNabi Islam. Aminah menikah dengan Abdullah. Tidak terdapat keterangan mengenai lahirnya beliau, dan menurut sejarah ia meninggal pada tahun 577 ketika dalam perjalanan menuju Yatsrib untuk mengajak  Muhammad mengunjungi pamannya dan melihat kuburan ayahnya.


Aminah dilahirkan di Mekkah. Ayah Aminah adalah pemimpin Bani Zuhrah, yang bernama 
Wahab bin Abdulmanaf bin Zuhrah bin Kilab. Sedangkan ibu Aminah adalah Barrah binti Abdul-Uzza bin Usman bin Abduddar bin Qushay.